TAK ada Anies, Prabowo atau Ganjar di Stasiun Gambir, Jum’at (12/1/24). Tentu saja, kalau misalkan bertemu, kami akan mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum…”
Kan mereka semua muslim. Jangan lupakan itu, lho. Betapa keras debat kemarin. Begitu runcing pernyataan yang menyeruak. Ketiganya tetap saudara se-Islam. Jangan kemudian publik, yang juga mayoritas muslim ini, terbelah pula. Bermusuhan. Hanya karena beda pilihan.
Kita akan katakan, kalau ada yang coba mengadu domba, “Sorry ye…” Sesama muslim itu basodara. Tidak halal, saling menjatuhkan kehormatan satu dan lainnya.
Lalu, jika ada yang ingin memperkeruh suasana. Manas-manasin. Kita tegaskan, “Wakanda no more, Indonesia forever…” Menjaga persatuan bangsa, lebih utama. Ketimbang gontok-gontokan, sebab beda jagoan capres.
Tak perlu juga adu tinggi salam metal. Kalau ada yang ingin ngajak ribut-ribut, cukuplah sapa dengan lembut, “Assalamu’alaikum…” Biar adem hati. Biar sejuk situasi.
Sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu’alahi wasallam, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu: “Tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak dikatakan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika dilakukan akan membuat kalian saling mencintai? Sebarkan salam di antara kalian.” (HR. Muslim)
Pagi itu, si jangkung Monas mengawasi kedatangan kami. Memastikan tujuan saya dan ustad Ibrohim Assewed ke ibu kota, untuk hal baik. Bukan ingin menggalang kekuatan. Mengumpulkan massa. Lantas merangsek ke istana. Alhamdulillah, bukan itu. Tetapi ingin menemui saudara-saudara kami ahlussunnah di tiga lokasi.
Ustad Ibrohim Assewed ada kajian rutin bulanan di Ponpes Dzunnurain, Parung, Bogor. Lanjut ke musala Annur, Limo, Depok. Terus ke Ma’had Riyadhul Jannah (MRJ), Desa Bojong, Klapanunggal, Bogor.
Menuju Parung, kami diantar seorang ikhwan, Alfian. Saya teringat seseorang di Timur, begitu tahu namanya. Sementara wajah kang Alfian, mirip Abu Reyhan Purwanto, bagian IT salafycirebon.com dan radioindahsiar.com. “Iya mirip,” kata ustad Ibrohim yang pernah umrah bareng Abu Reyhan.
Di Ponpes Dzunnurain, ustad Ibrohim menjadi khatib dan imam salat Jum’at. Selepas makan siang, putra sulung ustad Muhammad bin Umar Assewed itu, lanjut mengisi kajian untuk muslimah, dari masjid pondok. Audiens mendengarkan via radio di rumah masing-masing.
Sementara saya di ruang tamu, ditemani seorang pengajar muda, ustad Miqdam. Alumni Ma’had As Salafy, Jember. Eh ternyata, lelaki berkacamata itu eks Tim Peduli Bencana Lombok, 2018. Nyambung. Saya eks relawan Lombok gelombang kedua, ustad Miqdam berangkat gelombang keempat.
Kami pun terkenang teman-teman relawan. Mayoritas memang santri Jember. Lainnya santri pondok ahlussunnah Cirebon, Gresik, Yogyakarta dan Madiun. Teringat pula posko lapangan di Panyambuan, Betumping dan Sandongan.
Aktivitas sosial di sana, jadi program Praktik Kerja Lapangan (PKL) santri. Saya ditugaskan sebagai pendamping sekaligus reporter. Mengabarkan giat kerja bakti, pengobatan gratis dan penyaluran logistik, amanah dari para donatur.
Di Limo, Depok, ustad Ibrohim Assewed mengisi kajian selepas salat Magrib sampai Isya. Menyampaikan faedah ilmu dari kitab karya Asy Syaikh Abdurahman As Sa’di. Setelahnya, ustad yang sempat menimba ilmu ke Darul Hadis Al Fuyusy, Yaman itu, futsal bersama pemain setempat.
Ustad Nu’man bin Ruslan, ustad Ibrohim Assewed dan ustad Muadz Assewed, memang dikenal sebagai pemain futsal andalan dari pondok Cirebon, saat kunjung ke pondok lain. Saya sendiri memilih sebagai penonton cadangan – bukan pemain – sehingga mencukupkan menunggu di ruang tamu kompleks Limo saja wkwkwk…
Pukul 23.00 WIB, kami meluncur ke Ponpes MRJ. Menjajal ruas tol Pamulang-Cinere-Raya Bogor, yang baru saja diresmikan Presiden Jokowi, 8 Januari 2024. Gerbang utama pintu tol memang ada di Limo. Rasa-rasanya baru kami dari Dukuh Semar yang ngaspal di tol senilai Rp4 trilun ini hehe…
“Alhamdulillah, akhirnya sampai di Ma’had Riyadul Jannah,” kata saya kepada pengasuh MRJ, ustad Abdurahman Mubarak. Kami beberapa kali berkegiatan bersama. Dengan ramah, beliau selalu mengajak untuk mampir ke pondoknya. Saya iyakan, dan selalu ingin sowan. Alhamdulilah, akhire kelakon…
Termasuk relawan peduli bencana tsunami Selat Sunda (2019), banyak dari MRJ. Kami bahu-membahu bareng ahlussunnah lainnya dari Cikupa dan Tigaraksa, Tangerang. Menerjang lumpur dan jalanan rusak parah, menuju Desa Tanjung Lame, area Taman Nasional Ujung Kulon. Titik paling ujung di barat Pulau Jawa. Guna memberikan bantuan kemanusiaan yang terkumpul dari para donatur.
Sabtu (13/1/2024), ustad Ibrohim mengimami salat Subuh, lantas memberi kajian umum. Sekaligus menyampaikan pengantar untuk pertemuan berikutnya – biidznillah – yang akan membahas rutin sebuah kitab.
Pagi menjelang. Para santri kembali ke asrama. Bersiap untuk jam sekolah. Ada yang murojaah hafalan Alqur’an dulu. Bergegas mandi dan sarapan. Ada yang piket kebersihan. Juga ada yang menyempatkan main badminton barang sesaat.
Saya dan ustad Ibrohim diajak pula ke lapangan bulu tangkis di luar pondok. “Ayo, lihat GOR bulu tangkis kami,” seloroh seorang pengurus. Kami pun penasaran. Ternyata memang lapangan standar bulu tangkis. Milik seorang dokter, yang rumahnya sebelahan dengan lapangan. Ustad Ibrohim turun gelanggang. Saya duduk manis menikmati kudapan.
“Wah, bisa diliput nanti ini,” goda ustad Abdurahman Mubarak.
“Kalau Cirebon menang, ta liput,” jawab saya sambil terkekeh.
Ternyata sodara-sodara, ustad kita menang dalam dua game hehe…
Tak sampai di situ, ustad Abdurahman Mubarak begitu sayangnya “ngerjain” saya, beliau berucap, “Nah, mumpung Abu Ali ke sini, sekalian pelatihan jurnalistik ya…”
“Jangan, enggak usah, ustad,” ujar saya. Lha wong, enggak ada rencana dan persiapan.
Namun, ustad Abdurahman begitu gigih, “Nanti jam delapan, ada waktu kosong, bisa diisi itu. Tolong disiapkan,” titahnya kepada seorang pengurus. Waduuh, beneran ini mah…
Maka, ketika ustad Ibrohim saling smash, adu dropshot dan netting dengan lawan di lapangan, kepala saya main rally. Menyiapkan apa yang mau disampaikan. Tema dapat: Jurnalistik dalam Kegiatan Salafi. Paparan kemudian: tentang contoh aktivitas salafiyin Indonesia, yang bisa didokumentasikan dalam bentuk laporan jurnalistik.
Semisal: giat tebar majalah anti-komunisme dan anti-terorisme, daurah nasional dan asatidzah, juga giat peduli bencana. Walhamdulillah, saya pernah aktif dalam ketiga aktivitas kolektif tersebut, dan membuat banyak reportase. Teori dan pengalaman yang ada, bisa dibagikan tahap demi tahap.
Lancar. Rebes. Hasil corat-coret materi di papan tulis, saya foto. Kirim ke ustad Abdurahman Mubarak, yang posisinya sedang bersama ustad Usamah Mahri di Masjid Al I’tishom, Jakarta. “Misi selesai, ustad…” ketik saya.
Ternyata seru juga. Tak terasa sampai satu jam. Abu Hilmi memberi kode, waktu selesai. Tentu saya beri kesempatan santri bertanya. “Apa beda jurnalistik dengan penulisan karya lainnya,” kata salah satu dari mereka.
“Jurnalistik spesifik dikerjakan oleh seorang jurnalis atau wartawan,” jawab saya. Saya tekankan pula, “Jurnalis sudah tentu bisa menulis. Tetapi penulis, belum tentu bisa jadi jurnalis.”
Santri kembali ke masjid. Mengikuti pelajaran tajwid dari ustad Ibrohim. Selepas itu, beliau lanjut mendengarkan dan mengoreksi setoran hafalan santri yang sudah rampung 30 juz.
Saya menyempatkan mengunjungi rumah sahabat lama, di area kavlingan MRJ. Kenalan sejak di Yogyakarta dulu, sesama relawan tsunami Aceh, 2004. Tersaji kopi dan kuliner Aceh. Mengudaralah cerita zaman kuliah, hingga akhirnya bersua kembali di daurah JIC 2018.
Tak lama Abu Hilmi ngebel… Tuan rumah yang satu ini memang gesit. “Ngopi dulu kita…” Okelah, untung saja tak diajak ke lapangan futsal hehe…
Kepada segenap sedulur di Ponpes Dzunnurain Parung, kompleks Limo dan MRJ, saya ucapkan jazakumullahu khairan. (abu ali)
Sharing jurnalistik.
Adu tangkas bulu tangkis.
Markiz ahlussunnah Parung, Bogor.
Kajian umum ahlussunnah di kompleks Limo, Depok.
Senja mengiringi kepulangan.
Baca juga: